Jumat, 08 Januari 2010

PENGARUH PERILAKU SALAH PADA ANAK TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH 6-12 TAHUN DI DESA PARUNGSEAH KECAMATAN SUKABUMI KABUPATEN SUKABUMI

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini media dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak. Dalam berbagai berita dikesankan bahwa seolah-olah kekerasan seperti itu meningkat drastis aknir-akhir ini. Ini tentu tidak benar, kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita.
Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan dan kejenuhan pemirsa terhadap berbagai berita politk dan sosial yang mengisi wahana informasi publik. Diberlakukannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteren karena belum banyak dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan, tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak.
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup endemik di Indonesia pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Advokasi dan pendidikan masyarakat yang intensif sangat dibutuhkan, demikian juga penanganan sosial psikologis terhadap pelaku. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dari rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif (cara berfikir), perilaku (terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak), dan sosial kultural (adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat ). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut.
Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk memberikan pendidikan masyarakat. Kiat ini tentunya akan menuai kontroversi.
Saat ini sebagian besar orang meyakini bahwa manusia memiliki tiga entitas yang saling mempengaruhi. Yakni akal pikiran, hati nurani, dan raga. Tiga entitas tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akal pikiran untuk berpikir, hati nurani untuk merasa dan raga untuk bertindak. Dari hati nurani dan akal pikiranlah yang membuat raga dapat bertindak. Termasuk tindakan untuk mendidik anak.
Tiap orang tua untuk mendidik anak memiliki cara masing-masing. Bagi kebanyakan orang tua memilih sistem reward and punishment. Bila anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi hukuman yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik. Orang tuapun puas bila anak berhasil dijinakkan.
Tetapi kadang orang tua menjadi lepas kendali, hukuman fisik yang diberikan berlebihan. Hal inilah yang sering kita temui pada media massa. Anak disundut rokok, diseterika ataupun hukuman fisik lain yang meminta perhatian masyarakat umum. Siksaan fisik yang merupakan bagian dari kekerasan pada anak. Tentu saja bagi orang yang memiliki hati nurani, spontan mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah moral dan hukum. Suatu hal yang mesti ditindak dan dicegah untuk berulang di kemudian hari.
Berbeda kasus ekstrem itu dengan bila anak ”hanya” dicubit ataupun dipukul pipinya. Suatu hal yang masih ditolerir oleh masyarakat. Karena bagi masyarakat mendidik anak dengan hukuman fisik adalah efektif. Tujuannya adalah membuat anak menjadi disiplin. Hal inilah yang menjadikan kekerasan pada anak menjadi daerah abu-abu. Di satu sisi merupakan pelanggaran hak anak tetapi di lain pihak masyarakat merasakan manfaatnya.
Ditinjau dari segi akal pikiran maka sesuatu yang rasional bila kita melakukan hal yang mendekati harapan kita. Dalam mendidik anak orang tua memiliki harapannya masing-masing. Anak menjadi tidak nakal ataupun menjadi disiplin. Akan tetapi mengapa orang tua banyak memilih hukuman fisik untuk mencapai harapannya?. Mungkin hal ini dikarenakan pendidikan tradisional yang masyarakat anut. Penggunaan kekerasan dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai suatu yang sah. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan. Yang pada gilirannya menjadi lingkaran. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap anaknya dan begitu seterusnya.Tentu lingkaran itu dapat berlangsung karena masyarakat merasakan manfaatnya. Akan tetapi apakah semua anak dapat diberlakukan sama?
Ternyata tidak selalu. Anak dapat menjadi frustasi akibat hukuman fisik yang diberikan. Hal ini dapat terjadi bila anak tidak mengerti mengapa ia diberikan hukuman fisik tersebut. Terutama bila anak diminta bertentangan dengan proses perkembangannya. Misalnya saja, anak yang berbuat salah dalam tugas yang diberikan oleh orang tua maka langsung saja dipukul. Padahal anak sedang dalam proses pembelajaran, yang kadang bila salah merupakan suatu hal yang wajar. Dan bila hal ini berlangsung terus menerus dapat membuat anak menjadi frustasi yang selanjutnya anak menjadi kebal. Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum dari pada melakukannya.
Bila kita setuju dengan istilah mencegah lebih baik dari pada mengobati, maka kita perlu langkah nyata untuk mencegah kekerasan pada anak. Pemahaman masyarakat dapat ditingkatkan melalui media promosi. Terkait erat di dalamnya adalah media massa sebagai pembentuk opini masyarakat. Sudah saatnya generasi baru penuh cinta kasih.
Melihat fenomena tersebut diatas maka peneliti tertartik untuk membuat sebuah penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Perilaku Salah Pada Anak Terhadap Perkembangan Anak Usia Sekolah 6-12 Tahun di Desa Parungseah Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Tahun 2010 ”.

B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah : Seberapa besar pengaruh perilaku salah terhadap perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku salah terhadap perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun di Desa Parungseah Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Tahun 2010.


2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui seberapa besar perilaku salah orang tua berpengaruh terhadap perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun.
b. Untuk mengetahui perlakuan salah apa saja yang bisa mempengaruhi terhadap perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Untuk mengembangkan ilmu keperawatan dan mengaplikasikan metodelogi penelitian yang didapat selama mengikuti perkuliahan.
2. Bagi Instansi
Sebagai sumber kepustakaan yang dapat dijadikan bahan bagi peneliti berikutnya.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan setelah penelitian ini masyarakat mampu memahami dan mengetahui seberapa besar pengaruh perilaku salah dalam mendidik anak terhadap perkembangannya.















BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A. Konsep Child Abuse (Perlakuan Salah Pada Anak)
1. Pengertian Child Abuse
Child abuse adalah perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung pada seorang anak (individu kurang dari 18 tahun) secara fisik, seksual dan emosi (Sugiarno, 2007).
Perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibatnya mengancam kesejahteraan dan pertumbuhan anak baik secara fisik, psikologi, sosial maupun mental (Patilima, 2003). Perlakukan salah tersebut dilakukan oleh orang dewasa atau orang tua, guru, aparat dan lain-lain.
Perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak, dimana inia dalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak (David Gill, dikutip dari Lynch MA, 1992).
Child Abuse adalah dimana termasuk malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dan spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya (Fontana, 1971).
2. Klasifikasi
Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar yaitu :
a. Dalam Keluarga
1) Penganiayaan fisik
2) Kelalaian / penelantaran anak
3) Penganiayaan seksual
4) Penganiayaan emosional
5) Sindrom Munchausen

b. Di Luar Keluarga
1) Dalam institusi atau Lembaga
2) Di tempat kerja
3) Di jalan.
3. Bentuk Perlakuan salah pada anak
a. Penganiayaan fisik
Yaitu cedera fisik akibat hukuman badan diluar batasa kekejaman atau pemberian racun.
b. Kelalaian
Kelalaian ini selain tidak sengaja juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan ekonomi, bentuk kelalaian ini antara lain :
1) Pemeliharaan yang kurang memadai yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failuer to thrive) anak merasa kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan dan keterlambatan perkembangan.
2) Pengawasan yang kurang dapat menyebabkan anak mengalami risiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa
3) Kelalaian dalam mendapatkan pengobatan meliputi : kegagalan merawat anak dengan baik misalnya imunisasi atau kelalaian dalam mencari pengobatan sehingga memperburuk penyakit anak
4) Kelalaian dalam pendidikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mecari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan Emosional
Ditandai dengan kecaman kata-kata yang merendahkan anak atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini sering kali berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasikan akan dari lingkungannya/ hubungan sosialnya atau menyalahkan anak secara terus menerus, umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.
d. Penganiayaan Seksual
Mengajak anak untuk melakukan aktivitas seksual yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dimana tidak memahami atau tidak bersedia. Aktivitas seksual dapat berupa semua bentuk oral genital, anal atau sodomi. Penganiayaan seksual ini juga incest yaitu penganiayaan seksual oleh orang yang masih ada hubungan keluarga.
e. Sindrom Munchausen
Sindrom ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang dibuat0buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong tuntutan.
4. Faktor-faktor Risiko
a. Stress berasal dari anak
1) Fisik berbeda (cacat)
2) Mental berbeda (retardasi)
3) Temperamen berbeda (sukar)
4) Tingkah laku berbeda (rehiperaktif)
5) Anak angkat/ tiri
b. Stress keluarga
1) Kemiskinan, pengangguran, mobilitas, isolasi, perumahan tidak memadai
2) Hubungan orang tua-anak stress perinatal, anak yang tidak diharapkan, prematuritas
3) Perceraian
c. Stress berasal dari orang tua
1) Rendah diri
2) Waktu kecilnya mendapat perlakukan salah
3) Depresi
4) Harapan pada anak yang tidak realistik
5) Kelainan karakter/gangguan jiwa





B. Konsep Perkembangan
1. Pengertian Perkembangan
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan (Soetjiningsih).
Perkembangan adalah bertambahnya keterampilan sebagai hasil dari makin kompleksnya bagian tubuh dari fungsi-fungsinya (Jell, 1994).
Perkembangan adalah aspek progresif adaptasi terhadap lingkungan yang bersifat kualitatif, contoh : peningkatan kapasitas fungsional penguasaan terhadap beberapa keterampulan yang lebih kecil.
Bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematanganan (termasuk perkembangan emosi, intelektual, tingkah laku).
2. Akibat pada perkembangan kejiwaan
Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan yaitu :
a. Kecerdasan
Berbagai peneliti melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan. Retardasi mental dapat dialkibatkan oleh trauma langsung pada kepala juga karena malnutrisi.
b. Emosi
Untuk mengetahui akibat emosional pada anak yang dapat perlakukan salah, perlu anamnesis yang lengkap dari keluarga termasuk informasi beberapa orang dewasa yang ada di rumah, bagaimana hubungan masing-masing dengan anak tersebut, rencana perawatan anak, kejadian terakhir yang menimpa orang tua yang memelihara anak tersebut.
Terdapat gangguan emosi pada perkembangan konsep diri yang positif dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
Terjadi pseudomaturitas emosi, beberapa anak menjadi lebih agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri atau menjauh pergaulan. Anak suka mengompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur dan sebagainya.
c. Konsep Diri
Anak merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktivitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
d. Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah lebih agresif terhadap teman sebayanya sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
e. Hubungan Sosial
Anak sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya, mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa.
3. Teori Perkembangan Anak
a. Perkembangan psikomoral anak (KOHTBERG)
Tahapan-tahapan perkembangan moralitas anak dalam menghadapi kehidupan :
1) Tingkat Pemikiran Pra Konvensional
a) Tahap orientasi hukum kepatuhan
b) Tahap orientasi relativitas dan instrumental
2) Tingkat Pemikiran Konvensional
a) Tahap orientasi masuk kelompok
b) Tahap orientasi hukum dan ketertiban
3) Tingkat Pemikiran Post Kontroversial otonom
a) Tahap orientasi kontrak sosial
b) Tahap orientasi azas ketika universal
b. Perkembangan Psiko seksual (SIGMUND FREUD)
1) Tahap Oral (0-1 tahun)
2) Tahap Anal (1-3 tahun)
3) Tahap Oedipal / Phalik (3-5 tahun)
4) Tahap Laten (5-12 tahun)
5) Tahap Genital ( > 12 tahun)
c. Perkembangan psikososial anak (ERIK ERIKSON)
Ada 8 tahap pada perkembangan psikososial anak, yaitu :
1) Tahap percaya dan tidak percaya (umur 0-1 tahun)
2) Tahap kemandirian, rasa malu dan ragu (umur 1-3 tahun)
3) Tahap inisiatif dan rasa bersalah (umur 6-12 tahun)
4) Tahap rajin dan rendah hati (umur 6-12 tahun) sekolah
5) Tahap identitas dan kebingungan peran
6) Tahap keintiman dan pemisahan/dewasa muda
7) Tahap generasi dan pengentian/masa dewasa
8) Tahap integritas dan kepuasan / masa dewasa lanjut.
d. Perkembangan Intelektual/kognitif (PIAGET)
Ada 4 tahapan dalam teori perkembangan kognitif, yaitu :
1) Tahap sensori motorik (0-2 tahun)
2) Tahap pra operasional (2-7 tahun)
3) Tahap concrete operasional (7/8-11 tahun)
4) Tahap formal operasional (12 s/d dewasa).














BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Pemikiran
Kekerasan terhadap anak jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena situasi dan kondisi hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak.
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup endemik dan pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Advokasi dan pendidikan masyarakat yang intensif sangat dibutuhkan, demikian juga penanganan sosial psikologis terhadap pelaku. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dari rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif (cara berfikir), perilaku (terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak), dan sosial kultural (adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut.



B. Kerangka Konsep
Perilaku salah pada anak
Perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun
Variabel Independen
Variabel Dependen



C. Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002).
Variabel pada penelitian ini terdiri dari dua varabel yaitu :
1. Variabel Independen adalah faktor yang diduga sebagau faktor yang mempengaruhi dependen (Srikandi, 2007). Variabel independen dalam penelitian ini adalah perilaku salah pada anak
2. Varabel Dependennya adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas atau independen (Notoatmodjo, 1993). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun.

D. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian, sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2007). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Skala
1
Perilaku salah anak
Perbuatan semena-mena yang dilakukan orang dewasa
Kuesioner
Ordinal
2
Perkembangan anak usia sekolah
Bertambahnya kemampuan yang dilakukan oleh anak
Kuesioner
Nominal


E. Hipotesis
Hipotesis adalah persyaratan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah sehingga harus di uji secara empiris. Hipotesis yang digunakan untuk menentukan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih dan jika P > 0,05 tidak ada hubungan dan jika P < 0,05 ada hubungan, sehingga hipotesis ini digunakan karena peneliti menduga adanya hubungan antara pengaruh perilaku salah pada anak terhadap perkembangan anak usia sekolah 6-12 tahun (Hidayat, 2006).
























BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Observasional Analitik Korelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Penelitian observasional karena penelitian ini dilakukan tanpa memberikan perlakuan atau manipulasi pada Variabel tetapi sebatas mengamati.
Analitik korelasional karena penelitian ini mencari hubungan antara dua variable yang kemudian akan dicari koefisien korelasinya. Dan pendekatannya yang digunakan adalah pendekatan cross sectional artinya tiap subjek hanya di observasi sekali saja yaitu pengambilan data yang menyangkut variable independent tentang vitamin dan pada waktu yang bersamaan dengan variable dependen yaitu tentang pemebentukan gigi agar diperoleh data yang lengkap dalam waktu yang relative cepat (Arikuntoro, 2002)

B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2007).
Pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Parungseah Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi.
2. Sampel
N
1 + N (d2)
n =
Keterangan :
n = sampel
N = Jumlah populasi
d 2 = tingkat kesalahan yang diinginkan
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Cara menghitung dengan menggunakan rumus :



C. Tekhnik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan data sekunder yaitu data laporan ibu-ibu yang ada di Desa Parungseah dan data primer yang didapat dari hasil. Pengumpulan data dengan cara wawancara yaitu dengan cara melakukan tanya jawab langsung dengan respoden dan angket yaitu proses pengumpulan data secara tidak langsung (Hidayat A, 2007).

D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dengan skala Guttman yaitu skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban : ya dan tidak, positif dan negative, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala ini pada umumnya dibuat seperti checklist dengan interpretasi penilaian apabila skor benar nilai satu dan apabila salah nilainya nol dan analisisnya sama dengan skala likert. Sebelum kuisioner ini digunakan maka akan diuji dulu Validitas dan Reliabilitasnya (Hidayat, 2007).
1. Uji Validitas
Alat ukur atau instrumen yang dapat diterima sesuai standar yaitu alat ukur yang telah melalui uji validitas dengan menggunakan:
Rumus Pearson Produck Moment
r hitung =
Keterangan
r hitung = koefisien korelasi
= jumlah skor item
= jumlah skor total (item)
n = jumlah responden
Analisa : Instrumen dikatakan valid apabila : P < 0,05
2. Uji Realibilitas
Rumus untuk koefisien realibilitas instrumen dengan menggunakan rumus alpa Cronbach Alpha sebagai berikut :

Keterangan :
r : Koefisien reliabilitas instrument
k : Banyaknya butir pertanyaan
∑σb² : Total varians butir
σ²t ; Total varians

E. Analisa Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisa data yaitu dengan menggunakan uji Chi kuadrat. Ini digunakan untuk mengestimasi atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau menganalisa hasil observasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan atau perbedaan yang signifikan pada penelitian yang menggunakan data nominal. Adapun dalam pengolahan datanya mulai dengan :
1. Editing : adalah upaya untuk memriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding : merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan computer. Biasanya dalampemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (Code Book) untuk memudahkan kembali melihat likasi dan arti suatu kode dari suatu variabel.
3. Data Entry : adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam master tabel atau data base computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi.
4. Melakukan teknik analisis : dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis, apabila penelitiannya deskriptif, maka akan menggunakan statistik deskriptif.



F. Prosedur Penelitian
Ada 3 (tiga) tahap yang dilaksanakan dalam melaksanakan penelitian
a. Tahap Persiapan
b. Tahap Pelaksanaan
1) Memohon perizinan Direktur STIKES Kota Sukabumi
2) Memohon perizinan kepada Kepala Desa Parungseah
3) Memohon persetujuan sampel (Informend Consent).
c. Tahap Akhir (tahap Pelaporan)
G. Lokasi Dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian : Lokasi yang dipilih sebagai tempat penelitian adalah di Balai Desa Parungseah
2. Waktu Penelitian : Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian ini adalah dari Bulan Februari-Maret 2010.
H. Etika Penelitian
Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Alimul, 2003). Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Lembar Persetujuan sebagai peserta (Informed concent) ; merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed concent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan Informed concent adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.
2. Tanpa nama (Anonimity) tujuannya untuk menjaga kerahasiaan identitas dari responden dalam penelitian dengan cara tidak memberi nama responden pada lembar alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality) tujuannya untuk menjamin keberhasilan dari penelitian baik informasi maupun masalah lainnya, semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.